rsudhanafie.com – Gelombang demonstrasi yang digalang pergerakan mahasiswa dan beragam komponen warga sukses menjatuhkan pemerintahan Orde Baru pada 21 Mei 1998. Sejarah menulis, Yogyakarta menjadi satu diantara kota yang memulai tindakan demonstrasi dengan tuntutan: turunkan Presiden Soeharto! Kemenangan Golkar di Pemilu 1997 yang berbuntut akan makin lama waktunya kekuasaan Soeharto disongsong tindakan demonstrasi oleh mahasiswa di Yogyakarta. Ketua Senat Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) waktu itu, Ridaya La Ode Ngkowe, tetap ingat peristiwa itu.

Pada Oktober 1997, mengingat La Ode dikutip dari IDN Times, mahasiswa di Yogyakarta mulai bergerak sesudah Ketua Umum Golkar saat itu, Harmoko, melangsungkan safari dan umumkan jika Soeharto akan maju kembali sebagai presiden untuk masa 1998-2003.

“Waktu itu Harmoko sebagai Ketua Golkar menjelaskan masyarakat Indonesia ingin Soeharto meneruskan kembali (sebagai presiden).” cerita La Ode. Komponen-komponen pergerakan mahasiswa dari beragam kampus di Yogyakarta juga rapatkan barisan. Mereka tidak mau Soeharto berkuasa kembali sesudah sekian tahun lama waktunya tidak tergoyahkan dari puncak kekuasaan. Ditambah, keadaan ekonomi Indonesia saat itu mulai didera kritis.

Karena itu, diadakan referendum mengenai kepimpinan nasional untuk memfilter opini beberapa mahasiswa apa mereka tetap inginkan Soeharto masih tetap dicalonkan jadi presiden atau mungkin tidak.Syaifruddin Jurdi dalam Kemampuan-Kekuatan Politik Indonesia (2016) tuliskan, dari 9.587 suara, beberapa mengatakan jika mahasiswa menampik penyalonan kembali Soeharto. Tapak jejak opini yang sudah dilakukan majalah Balairung memperlihatkan, 93 % mahasiswa UGM tidak mau Soeharto jadi presiden kembali.

Tetapi, sesudah hasil referendum dipublikasikan, tiba penekanan dari kampus, bahkan juga dari intel militer dan aparatur kepolisian. Beberapa mahasiswa tidak kehabisan akal. Hasil referendum itu selanjutnya mereka adukan ke beberapa media non-mainstream, termasuk BBC, Suara Australia, VOA, dan sebagainya.

Baca Juga : Prospek Kerja Jurusan Akuntansi Terbaik Di Indonesia 2023

Menuntut Presiden Turun

Kabar berita beberapa media non-mainstream berkaitan sikap mahasiswa, termasuk di Yogyakarta, atas gagasan penyalonan kembali Soeharto jadi presiden membuat keadaan makin panas. Pergerakan mahasiswa di Yogyakarta juga semakin bernyali untuk bergerak lebih masif . Pada Minggu, 8 Maret 1998, mahasiswa yang bergabung dalam Barisan Cipayung Yogyakarta melangsungkan tindakan “Diam Menuntut Peralihan” di Jalan Malioboro. Tetapi, tulis Octo Lampito dalam Jatuh Keprabon (1998), saat mereka akan bergerak ke arah Alun-Alun Utara, aparatur sudah menghadang. Beberapa peserta tindakan itu dinaikkan ke truk dan dibawa ke basis Polresta Yogyakarta.

Pemerintahan penguasa terus jalan. Pada 10 Maret 1998, Sidang Umum MPR pilih Soeharto dan BJ Habibie sebagai presiden dan wakil presiden untuk masa 1998-2003. Esoknya, tanggal 11 Maret 1998 yang bersamaan dengan peringatan Supersemar, barisan mahasiswa di Yogyakarta menyongsong pengukuhan Soeharto dengan demonstrasi.Republika edisi 12 Maret 1998 memberitakan, diadakan demo besar yang di ikuti lebih dari 30 ribu mahasiswa di Yogyakarta. Pekik “Merdeka” dan “Allahu Besar” memberi warna demonstrasi di kampus UGM. Mereka inginkan dibuatnya pemerintah yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tindakan sama dilaksanakan di beberapa perguruan tinggi di sejumlah kota besar yang lain. Di Surabaya dan Solo, contohnya, bahkan juga terjadi benturan di antara petugas keamanan dan pengunjukrasa.

Pengakuan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) saat itu, Wiranto Arismunandar, yang menunjuk jika mahasiswa pemula dalam berpolitik membuat keadaan makin panas. Awalnya April 1998, saat Mendikbud akan mengangkat Rektor UGM di Yogyakarta, mahasiswa melangsungkan beragam aktivitas untuk menyongsong si menteri, dari demo, tindakan berhenti makan, sampai balkon bebas. Mereka menuntut Mendikbud supaya menarik lagi perkataan yang menyakitkan tersebut.

Sayang, dikutip dari riset Angga Apip Wahyu Saputra dari Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), bertema “Peran Mahasiswa Yogyakarta dalam Perjuangan Reformasi di Indonesia” (2012), usaha itu tidak berhasil karena Mendikbud tinggalkan UGM lebih cepat dari agenda.

Serangkaian tindakan protes yang terjadi di beberapa kota termasuk Yogyakarta sebelumnya sempat membuat Presiden Soeharto sampaikan pengakuan jika reformasi dapat dilaksanakan waktu itu . Tetapi, pernyataan itu dipandang tidak serius dan cuma untuk strategi supaya demo berkurang. Mahasiswa masih tetap inginkan Soeharto jatuh. https://www.rsudhanafie.com/

Dari Gejayan ke Senayan

Pada 2 April 1998, mahasiswa merencanakan lakukan long march dari Bundaran UGM ke arah Gedung DPRD yang berada di Jalan Malioboro. Gagasan itu terhalang karena dirintangi aparatur yang telah bersiaga di luar kampus. Beberapa peserta tindakan dipandang mengusik keteraturan umum oleh aparatur. Polisi selanjutnya tawarkan ke mahasiswa supaya menumpang bus-agar lebih gampang dipantau dan menghindar dari pengerahan massa lebih besar, tetapi ditampik. Mahasiswa masih tetap bergerak dan terjadi benturan. Lebih dari sejam, tulis Samsu Rizal Panggabean dalam Perselisihan dan Perdamaian Etnis di Indonesia (2018), aparatur dan mahasiswa sama-sama melemparkan batu.

Esok harinya mahasiswa merencanakan demo kembali, ini kali maksudnya ialah Keraton Yogyakarta. Saat itu, Sultan Hamengkubuwana X belum sampaikan suportnya pada pergerakan reformasi. Aparatur mengingati lagi supaya mahasiswa tidak keluar kampus. Beberapa ada yang taat, tetapi cukup banyak juga yang masih tetap bergerak dan berusaha tembus blokade polisi. Terjadi tindakan sama-sama dorong, yang diikuti gesekan fisik.

Hari untuk hari di Yogyakarta waktu itu memang sering kali diwarnai tindakan demo.Dalam peringatan Hari Kartini di Yogyakarta pada 21 April 1998, mahasiswa bersama komponen warga yang lain termasuk dosen, agamawan, siswa, sampai seniman bergabung di muka Gedung Sabha Pramana UGM. Beberapa peserta tindakan yang banyaknya capai 15 ribu orang ini, dinukil dari Bergerak: Media Tindakan Mahasiswa UI (1998), bergabung dalam Rapat Besar Warga Yogyakarta. Mereka inginkan peralihan dan mengutarakan kedukaan pada sesuatu yang tengah menerpa ibu pertiwi.

Selanjutnya tanggal 5 Mei 1998. dikutip dari tulisan Hendra Kurniawan dengan judul “Mengenang Gejayan Kelabu” yang termuat di Kedaulatan Masyarakat (8 Mei 2018), mahasiswa mulai bergerak dan harus hadapi kemampuan aparatur keamanan. Bentrokan fisik tidak terelak.

Esok harinya, mahasiswa dari sejumlah kampus di Yogyakarta melangsungkan lagi demonstrasi, termasuk UGM, UNY (dahulu namanya IKIP Yogyakarta), Universitas Sanata Dharma (USD), dan UIN atau IAIN Sunan Kalijaga. Di Jalan Gejayan (sekarang Jalan Affandi) yang melalui IKIP dan Sanata Dharma, terjadi kekacauan. Polisi memburu mahasiswa sampai ke kampus. Sekitar 29 orang pengunjuk rasa diamankan.

Pucuk demonstrasi di Yogyakarta terjadi pada 8 Mei 1998. Setelah sholat Jumat, beberapa ribu mahasiswa melangsungkan tindakan di Bundaran UGM dan berjalan teratur. Mereka mengatakan kedukaan atas keadaan ekonomi negara, penampikan Soeharto sebagai presiden kembali, protes naiknya harga, dan mendesak selekasnya dilaksanakan reformasi. Menjelang sore, beberapa mahasiswa dan warga dari Jalan Gejayan bergerak ke arah Bundaran UGM untuk gabung dengan barisan pengunjukrasa di situ. Tetapi aparatur keamanan tidak meluluskan. Situasi mulai panas.

Bentrokan pecah sekitaran jam 17.00 WIB. Disimpulkan dari beragam sumber, pasukan keamanan gerakkan panser penyemprot air dan shooting gas air mata untuk bubarkan tindakan massa di pertigaan di antara Jalan Gejayan dan Jalan Kolombo. Situasi menakutkan terus berasa di Jalan Gejayan dan sekelilingnya sampai malam hari. Masih tetap ada beberapa orang yang bertahan di dalam kepungan polisi dan tentara. Aparatur mengisolir dan tutup jalanan ke arah tempat peristiwa kasus.

Jumat kelabu ini tidak cuma mengakibatkan beberapa korban beberapa luka dari kelompok mahasiswa, tetapi masyarakat biasa. Bahkan juga, ada juga yang perlu kehilangan nyawa. Seorang mahasiswa namanya Moses Gatotkaca diketemukan bersimbah darah dan wafat diperjalanan ke arah rumah sakit. Kejadian berdarah di Gejayan, ditambahkan serangkaian peristiwa yang lain termasuk Bencana Trisakti di Jakarta yang tewaskan empat orang mahasiswa, membuat kemauan untuk menjatuhkan pemerintahan makin bertambah besar.

Dari Gejayan, beragam komponen masyarakat dan mahasiswa mengarah ke Jakarta ke arah Senayan, gabung dengan barisan sama yang tiba dari segala penjuru Nusantara. Tanggal 21 Mei 1998, reformasi pada akhirnya diwujudkan. Soeharto jatuh, Orde Baru roboh.